Militer.ID – Penyanderaan mapenduma merupakan peristiwa penyanderaan yang dilakukan oleh pasukan OPM terhadap 26 peneliti. Mereka disandera dalam waktu cukup lama, negosisasi yang dilakukan pun sangat berjalan lambat namun tetap membuahkan hasil.
Pada tanggal 25 Februari 1996, dalam pertemuan antara ICRC dengan Kogoya, hal yang diminta ICRC adalah pembebasan sandera dengan jalan damai. Namun sayangnya, permintaan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Kogoya. Ia tidak dapat melepaskan sandera tanpa mendapatkan izin langsung dari pimpinan OPM.
Biarpun begitu, mediasi yang dilakukan ICRC serta para penyandera tetap berjalan lancar. Dengan perlahan mereka terus berusaha agar para sandera bisa segera dibebaskan. Kogoya pada waktu itu sempat menitipkan roll film, isinya adalah foto kondisi para sandera yang ditawan. Para penyandera juga ingin agar saat proses pembebasan sandera berlangsung perwakilan dari tiap negara bisa menyaksikannya.
BACA JUGA :
- Mediasi Panjang Operasi Pembebasan Sandera Mapenduma Bagian 1
- Operasi Woyla : Prestasi Penugasan Pertama dan Gugurnya Operator Komando
- Mengenal Tim Alfa 29 : Eksekutor Pada Operasi Tinombala
Pasang Surut Mediasi dan Keterlibatan Paus Paulus II
26 Februari 1996, Upaya melakukan mediasi dengan pihak OPM masih sangat lambat. Namun ada informasi yang datang pada ABRI bahwa para sandera ditempatkan di sebuah gua yang dijuluki “gua kelelawar”. Menurut informasi lebih lanjut, gua tersebut berada pada ketinggian 7 meter dan hanya dapat dijangkau menggunakan anak tangga saja.
29 Februari 1996, akhirnya ICRC berhasil bertemu dengan para sandera di gubuk yang berada di kawasan desa Geselama. Pada saat pertemuan ini Kogoya kemudian mengirimkan pesan untuk Tim satgas, mereka akan mempertimbangkan kemungkinan pembebasan para sandera jika sudah berkomunikasi langsung dengan pimpinan OPM, di Papua Nugini.
Selang beberapa hari kemudian, akhirnya Kogoya dan Kwalik mengelurkan sebuah penyataan. Mereka tidak akan membebaskan sandera, kecuali jika pemerintah benar-benar mengakui kemerdekaan Republik Papua Barat.
4 Maret 1996, Moses Weror, selaku pemimpin dari dewan revolusi OPM memberikan ultimatum bahwa para pemimpin katolik sedunia, yakini Paus Johanes Paulus II telah mengirimkan sepucuk surat untuk diberikan pada Kelly kwalik dan Kogoya. Lewat surat tersebut, Paus meminta agar mereka dapat membebaskan para sandera.
5 Maret 1996, keesokan harinya akhirnya Moses menyatakan bahwa ia ingin melakukan negosiasi dengan pemerintah. Beberapa nama kemudian disebutkan oleh Moses, diantaranya Megawati, Ketua MPR, Wahono serta Menteri Luar Negari, Ali Alatas. Moses menginginkan saat proses negosiasi nama-nama tersebut dapat hadir.
Moses juga menegaskan bahwa batas waktu agar mereka bisa membebaskan sandera adalah sampai September 1996, bersamaan dengan dilaksanakannya sidang mejelis umum PBB. Moses juga mengatakan bahwa negosiasi yang dilakukan akan sangat menentukan nasib para sandera.
Setelah pertemuan yang dilakukan dengan ICRC di Papua Nugini, akhirnya Moses memberikan perintah pada kwalik dan Kogoya untuk bisa membebaskan para sandera. Alasan moses adalah karena penyanderaan telah berlangsung dalam waktu lama dan berhasil menarik perhatian dunia internasonal. Moses juga sangat puas karena ICRC sudah berjanji akan membuka perwakilannya di Irian Jaya.
Namun sayangnya, celaka untuk berbagai soal mengenai mediasi ini. Simon Allom yang merupakan juru bicara Kwalik dan Kogoya menyatakan tidak akan sama sekali menuruti apa yang dikatakan Moses. Mereka bahkan mengancam akan membunuh para sandera jika tuntutannya tidak kunjung dipenuhi.
Insiden Terbunuhnya 16 Orang di Pucuk Senjata Otomatis Letda Sanurip
16 Maret 1996, akhirnya seorang sandera yang bernama Abraham Wanggai berhasil dibebaskan. Namun sebuah kabar berita muncul dengan mengejutkan. Karena 1 bulan setelah pembebasan Abraham, tepatnya pada tanggal 15 April 1996, Letda Sanurip yang ditugaskan untuk melakukan operasi pembebasan sandera Mapenduma ternyata menembak mati 16 orang. Yaitu, 3 perwira Kopassus, 8 pasukan Kostrad dan 5 warga sipil, semuanya diberondong dengan otomatis oleh senjata Letda Sanurip.
Banyak sekali versi berita alasan mengapa Letna Sanurip melakukan penembakan, mulai dari adanya wabah penyakit, stress bahkan sampai sakit hati pribadi. Namun sampai sekarang belum diketahui alasannya. Yang jelas karena kejadian tersebut sang Letda berakhir dihukuman mati tanggal 23 April 1997.
Mei 1996, tepatnya setelah pekan kedua, ICRC akhirnya menyatakan untuk mengundurkan diri dari proses mediasi. Mereka mengaku sudah tidak bisa lagi bersikap secara netral. Sementara itu, kabar lain menyatakan bahwa salah satu helicopter yang mengawasi tim ICRC jatuh pasca mengalami kerusakan mesin. Semua yang ada di dalam heli tewas.
Dimulainya Operasi Mapenduma Sebagai Akhir Mediasi Paling Alot
Setelah terjadinya pasang surut mediasi dengan pihak OPM selama berbulan-bulan, akhirnya pemerintah RI mulai bersikap tegas. Dengan mengantongi izin dari Otoritas tertinggi yang ada di Jakarta dan persetujuaan dari Belanda, Jerman dan Inggris sebagai negara yang juga ikut melakukan negosiasi, akhirnya dikirim 8 helikopter.
Di dalam heli tersebut ada Brigjen Prabowo Subianto yang saat itu menjabat sebagai Komandan Kopassus pemimpin pasukan baret merah.
Dalam upaya pernyerbuan tersebut, akhirnya pasukan pemukul mengalami kegagalan untuk bisa menemukan gerombolan yang dituju oleh sandera dan penyandera. Satuan pemburu jejak kemudian menguntit gerombolan tersebut selama berbulan-bulan, mereka harus mengasah penciuman mereka.
Akhirnya mereka berhasil menemukan gerombolan tersebut dengan bantuan pesawat tanpa awak yang sudah dilengkapi dengan pemindai termal dari Singapura.
Episode penyanderaan selama 129 hari menemukan endingnya. 1 unit pemukul, terdiri dari 9 anggota Kopassus berhasil mengepung gerombolan. Dengan upaya tersebut, 9 dari 11 sandera yang tersisa berhasil dibebaskan dengan selamat. Dua orang sandera lainnya tewas karena dibacok oleh anggota OPM. Sedangkan 8 orang lainnya dari anggota OPM juga tewas, 2 orang lainnya di tahan.
Operasi ini dirancang dengan sangat matang, dengan melibatkan kesatuan Marinir, Batalion 330 Kostrad dan juga Batalion Organik Kodam VIII, yang bertugas sebagai pasukan penyekat. Pasukan ini kemudian stand by di beberapa titik yang sudah ditentukan guna membantu dalam memulihkan keamanan wilayah pasca operasi tersebut dilaksanakan.