Militer.id – Abdul Haris Nasution atau Jenderal Besar TNI Purn. A.H Nasution dikenal sebagai penggagas perang gerilya dalam perang melawan penjajah Belanda. Informasi mengenai hal ini tertuang dalam buku yang ditulisnya dengan judul “Strategy of Guerrilla Warfare”. Supaya lebih mengenal sosok satu ini, simak penjelasannya dibawah ini.
Profil Abdul Haris Nasution
A.H Nasution merupakan salah satu jenderal yang memiliki pangkat bintang lima di Indonesia. Sosok jenderal satu ini lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada tanggal 3 Desember 1918. Sejak kecil A.H Nasution sangat gemar membaca buku sejarah, seperti buku sejarah mengenai Nabi Muhammad SAW hingga perang Kemerdekaan Belanda dan Prancis.
A.H Nasution pernah menempuh pendidikan di HIS Yogyakarta pada tahun 1932. Setelah itu melanjutkan pendidikan di HIK Yogyakarta tahun 1935 dan AMS Bagian B, Jakarta tahun 1938. Pada tahun 1942 beliau melanjutkan pendidikan di Akademi Militer Bandung. Sebelum melanjutkan pendidikan di Akademi Militer Bandung, A.H Nasution pernah menjadi guru di Bengkulu pada tahun 1938 dan menjadi guru di Palembang pada tahun 1939-1940.
Tertarik ke dunia militer dan melanjutkan pendidikan di Akademi Militer Bandung membawanya untuk berkarir di dunia tersebut Pada tahun 1946-1948, A.H Nasution diberi wewenang untuk memimpin Divisi Siliwangi. Ketika memimpin Divisi Siliwangi muncul sebuah ide tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini kemudian dikembangkan oleh A.H Nasution setelah beliau menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II pada tahun 1948-1949.
Baca Juga : MENGENAL TAKTIK PERANG GERILYA TENTARA NASIONAL INDONESIA
Menulis Sebuah Buku
Memiliki banyak pengalaman saat memimpin Divisi Siliwangi, A.H Nasution menulis gagasan dan juga metode mengenai taktik perang gerilya atau Guerrilla Warfare. Istilah tersebut memiliki arti sebagai bentuk perang rakyat dalam melawan penjajahan. Kemudian beliau berhasil menulis buku yang berjudul “Strategy of Guerrilla Warfare” atau “Pokok-pokok Gerilya”.
Buku tersebut kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing dan dijadikan buku wajib akademi militer di banyak negara di dunia. Salah satunya yaitu sekolah elit bagi militer dunia West Point Amerika Serikat.
Abdul Haris Nasution pernah mendapatkan kecaman karena memiliki peran sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI. Dwi Fungsi ABRI itu sendiri dikutuk di era reformasi. Meski begitu, jasa besarnya tidak bisa dilepaskan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI hingga masa orde baru.
Dwi Fungsi ABRI kemudian dihapus karena adanya desakan gerakan reformasi pada tahun 1998. Hal ini dikarenakan Dwi Fungsi ABRI dianggap sebagai legalitas tentara untuk campur tangan dengan urusan politik Indonesia sehingga memunculkan pemerintahan yang otoriter dan juga represif.
Pasca Gerakan G30S/PKI
Setelah peristiwa gerakan 30 September, tepatnya pada tahun 1966 A.H Nasution pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) hingga tahun 1972 yang kemudian digantikan oleh Idham Chalid. Setelah pemilu tahun 1975 yang penuh kecurangan dan juga dimenangkan oleh Golongan Karya. Abdul Haris Nasution menyatakan krisis kepemimpinan di tubuh Orde Baru.
Nasution bersama Moh. Hatta kemudian mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB). Dalam pertemuan YLKB, Nasution pernah mengatakan jika Orde baru tidak benar-benar menjalankan Pancasila dan juga UUD 1945. Bersama tokoh-tokoh lainnya seperti Ali sadikin, M. Natsir dan Hugeng Imam Santosa menandatangani petisi 50 dan kemudian mengirimkannya ke DPR pada 13 Mei 1980.
Jenderal Besar Abdul Haris Nasution wafat pada 6 September 2000 di usia 81 tahun. Jenderal Besar ini wafat di Rumah Sakit Angkatan Darat Gatot Subroto dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan nasional Kalibata, Jakarta.