Mengenang Laksamana Malahayati, Sang Pahlawan Wanita Aceh

Saat kita membahas tentang siapa saja sosok pahlawan Indonesia yang berjasa sangat besar bagi negeri ini, maka jawabannya pasti akan sangat banyak. Nama Laksamana Malahayati adalah salah satunya, yaitu sosok pahlawan wanita tangguh asal Aceh. Menjadi seorang prajurit yang ikut melawan penjajahan, beliau telah menorehkan jejak yang sangat penting dalam medan pertempuran.

Bahkan, dunia juga pernah pernah mengenalnya sebagai pahlawan wanita dari Indonesia yang sempat membuat pasukan perang Inggris gentar. Sejak tanggal 9 November 2017, sosoknya memperoleh gelar yang sah sebagai salah satu pahlawan nasional. Sudah tahukah Anda beberapa fakta mengenai Laksamana Malahayati dan kiprah perjuangannya? Yuk simak pada ulasan berikut ini.

Laksamana Malahayati Berasal dari Keluarga Bangsawan

Ketika membahas tentang pahlawan Aceh, sebagian kita mungkina akan lebih familiar dengan Cut Nyak Dien atau Cut Meutia. Walau sebenarnya juga ada laksamana wanita Aceh yang pertama, yang bernama asli Keumalahayati atau Malahayati bin Mahmud Syah.

Karakter dirinya memang tidak lepas dari bagaimana latar belakang keluarganya. Kakek dan ayahnya juga merupakan laksamana yang berperan penting untuk sejarah Tanah Air. Sang kakek bernama Laksamana Muhammad Said Syah sedangkan sang ayah adalah Laksamana Mahmud Syah. Menurut catatan sejarah, Laksamana Muhammad Said Syah adalah putra Salahuddin Syah, yaitu putra Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah yang mendirikan Kerajaan Aceh Darussalam.

Selain lahir dari keluarga keturunan bangsawan, lingkungan keluarganya juga mendukung untuk belajar ilmu kelautan. Jadi, tidak heran bila beliau kemudian hari menjadi sosok laksamana yang pemberani.

Baca juga:

Mendapat Bekal Ilmu Agama dan Militer yang Kuat

Selain mendapat bekal pendidikan dalam lingkungan keluarga, dari mana lagi Laksamana Malahayati menempuh pendidikan? Secara umum pendidikannya fokus kepada pendidikan agama dan pendidikan militer.

– Pendidikan Akademi Militer Kerajaan (Ma’had Baitul Maqdis)

Sebelum nama besarnya sebagai laksamana atau bahkan pahlawan, tentu saja ada proses pendidikan yang sarat dengan ilmu agama Islam. Pendidikan agamanya berawal dari Meunasah, Rangkang, dan Dayah. Meunasah adalah surau, Rangkang dayah balai pengajian, sedangkan Dayah adalah pesantren. Setelah itu, beliau lanjut untuk mendalami ilmu kelautan seperti sang ayah.

Begitu selesai dengan jenjang pendidikan agama, beliau melanjutkan ke Ma’had Baitul Maqdis (akademi militer kerajaan). Ketika menjalani pendidikan militernya, Malahayati menunjukkan sikap rajin dan berprestasi. Malahayati menjalani semua fase pendidikan militer angkatan laut dengan baik.

– Mulai Terjun ke Banyak Macam Pertempuran

Begitu selesai pendidikan militer, Malahayati berkontribusi untuk pemerintah Kerajaan Aceh. Dengan sikap amanah seperti sebelum-sebelumnya, pihak kerajaan pun mengangkatnya jadi protokol istana. Saat itu sedang berlangsung pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604).

Saat itulah, beliau mulai kiprah perjuangan menjaga Selat Malaka dari Portugis. Banyak peperangan sengit berhasil ia lalui, misalnya pertempuran Teluk Haru dengan armada Aceh menjadi pemenang.

Meskipun saat itu adalah momen kemenangan, tapi Laksamana Malahayati juga menyimpan kesedihan mendalam. Pada pertempuran tersebut, suaminya yang bernama Laksamana Zainal Abidin gugur pada pertempuran melawan Portugis. Begitu juga ribuan prajurit lain juga gugur dalam pertempuran. Sejak saat itu Malahayati segera gantikan peran suaminya dengan armada sendiri.

Laksamana Malahayati Memimpin Pasukan Pelayaran

Selepas berpulangnya sang suami itulah, Malahayati bertekad kuat untuk melanjutkan perjuangan meskipun kondisinya sangat sulit. Demi mencapai tujuan, Laksamana Malahayati juga memohon kepada Sultan al Mukammil supaya membentuk armada Aceh.
Ternyata saat itu yang bergerak adalah ribuan prajurit wanita yang telah menjadi janda karena suami mereka pun gugur pada Perang Teluk Haru.

Sultan mengabulkan permintaannya, kemudian Laksamana Malahayati mulai memimpin armada Inong Balee. Sepanjang sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, Malahayati adalah wanita pertama yang mendapat pangkat laksamana dan memimpin pelayaran. Awal mula pembentukan, kekuatan armada ‘hanya’ seribu orang, lalu berangsur tumbuh semakin kuat menjadi dua ribu pasukan. Banyak persiapan dan strategi mereka lakukan di wilayah Teluk Lamreh Krueng Raya sebagai pangkalan militer.

Bersama Armada Inong Balee Melawan Pasukan Belanda

Untuk menjaga pangkalan, mereka membangan sebuah benteng yaitu Benteng Inong Balee dengan lokasi daerah perbukitan. Laksamana Malahayati melakukan koordinasi seluruh pasukan untuk mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang ada dalam kekuasaan Syahbandar dan kapal-kapal Kesultanan Aceh Darussalam.

Malahayati juga pernah menorehkan catatan penting pada pertempuran menghadapi pasukan kolonial Belanda dengan pemimpin Cornelis de Houtman. Pada awalnya memang pasukan Belanda datang dengan maksud membangun hubungan perniagaan atau perdagangan rempah-rempah. Sampai pada akhirnya konflik tidak terhindarkan ketika mereka ingin merebut kekuasaan dari Kesultanan Aceh Darussalam.

Sultan al Mukammil juga mulai menangkap gelagat tidak baik dari hadirnya Houtman. Memang ada dugaan bahwa rasa tidak senang itu adalah karena hasutan si penerjemah yang berasal dari Portugis. Tidak lama kemudian, Malahayati melaksanakan perintah Sultan untuk menyerang pasukan Belanda bersama kapal mereka. Juli 1599, pertempuran bersenjata kian berkecamuk.

Saat itu, Cornelis de Houtman beserta anak buahnya beberapa akhirnya tewas. Sejak momen bersejarah itulah, nama Laksamana Malahayati kian populer seantero nusantara sampai ke benua Eropa. Reputasinya bahkan membuat pasukan Inggris gentar dan memilih jalur damai ketika masuk ke wilayah Aceh.

Malahayati Berjuang Sampai Akhir Hayat

Sosoknya berperan penting untuk menginspirasi bidang pelayaran modern. Demi mengenang keberaniannya, nama beliau menjadi salah satu nama untuk kapal perang Indonesia yaitu kapal KRI Malahayati. Hingga akhir hayat, perjuangannya tetap berlanjut untuk melindungi wilayah Nusantara, khususnya wilayah Aceh dan juga perairan sekitar.

Sedari awal begitu gigih menghadapi medan tempur yang sulit, sampai pada akhirnya takdir telah menjemput. Beliau gugur ketika bertempur melawan pasukan Portugis pimpinan Alfonso de Castro pada tahun 1615 M. Lokasi makamnya yang ada di Gampong Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar masih sering menjadi tempat ziarah masyarakat Indonesia. Apakah Anda sudah pernah berkunjung ke sana? Yang pasti, semoga informasi kali ini bermanfaat bagi Anda dan pembaca sekalian.

Exit mobile version