Militer.ID – Pada tanggal 28 Maret 1981 tepatnya hari sabtu merupakan hari bersejarah terutama bagi Kopassus dalam menjalankan misi Operasi Woyla, dimana pada hari itu terjadi pembajakan terhadap pesawat Garuda Indonesia DC-9 Woyla.
Peristiwa pembajakan pesawat ini bermula pada saat pesawat Garuda DC-9 Woyla berangkat dengan rute Jakarta – Medan, dalam rute ini pesawat Garuda DC-9 pesawat yang membawa 48 orang serta 5 kru itu melakukan transit di Talangbetutu, Palembang, selanjutnya kemudian langsung ke Bandara Polonia Medan. Setelah lepas landas dari bandara Palembang, pesawat itu di kabarkan telah dibajak oleh 5 orang teroris.
Drama pembajakan itu di lakukan oleh lima orang teroris yang dipimpin oleh Imran bin Muhammad Zein. Pada saat itu kelima teroris tersebut menyamar sebagai penumpang dari pesawat tersebut. Kelima teroris ini merupakan kelompok dari Islam ekstrim yang di sebut “Komando Jihad”.
Ketika didalam pesawat, satu dari pembajak dengan membawa senjata itu masuk kedalam ruang kokpit lalu memerintah Pilot Kapten Herman Ranteke agar terbang ke daerah Colombo, Srilanka. Karena bahan bakar tak cukup maka pesawat di bawa ke Penang, Malaysia untuk di isi bahan bakar, dan kemudian menuju Bandara Don Muang, Bangkok.
Dalam aksi pembajakan ini, Imran bin Muhammad Zein meminta supaya para petinggi Komando Jihad yang ditahan karena Peristiwa Cicendo di Bandung, Jawa Barat agar dibebaskan. Komando Jihad yang mereka ingin bebaskan merupakan anggota yang di tangkap dan terancam hukuman mati karena peristiwa Cicendo, sedikitnya terdapat 14 anggota Komando Jihad melakukan pembunuhan terhadap empat anggota polisi di Kosekta 65 tepatnya pada tanggal 11 Maret 1981 dini hari.
Operasi Woyla tersebut merupakan operasi pembebasan yang dilakukan sehari setelah berita pembajakan itu tersebar. Tanggapan yang diberikan oleh Presiden Soeharto setelah mendengar tuntutan yang di minta oleh kelompok teroris itu ialah dengan menggelar operasi militer. Beliau tidak ingin memenuhi apa yang di minta oleh teroris itu melainkan melawannya dengan kekuatan militer.
Laksamana Sudomo yang selaku wakil ABRI saat itu meneruskan apa yang Presiden Soeharto perintahkan kepada Benny Moerdani selaku Kepala Pusat Intelijen Strategis. Setelah menerima informasi itu, Benny Moerdani langsung menghubungi Asrama Kopasandha yang sekarang disebut Kopassus dan diterima oleh Letkol Sintong Panjaitan Asisten Operasi Kopasandha.
Sambil menunggu lobi terhadap Thailand untuk mengizinkan operasi militer, oleh Letkol Sintong Panjaitan mengumpulkan pasukan dan melakukan simulasi atau latihan untuk pembebasan sandra. Latihan itu meminjam Pesawat DC-9 agar memahami medan dan situasi ketika penyelamatan. Pada saat itu keadaan oleh Letkol Sintong Panjaitan sedang terbalut gip di kakinya dikarnakan patah.
Latihan dilakukan selama 2 hari berturut-turut di hanggar Garuda. Ini merupakan kali pertama Kopassus beraksi setelah dua tahun dibentuknya pasukan ini dan inilah saat yang tepat untuk menunjukan kehebatannya.
Pasukan tiba di Don Muang Bangkok pada 30 Maret 1981. Pasukan menggunakan pesawat DC-10, dan mengatakan bahwa mereka baru terbang dari Eropa. Pesawat DC-10 ini pun di parkir jauh dar tempat pesawat DC-9 yang dibajak.
Ketika hari menjelang siang, akhirnya Pemerintah Thailand memberi izin kepada Pasukan Indonesia untuk melakukan operasi woyla dan menyelesaikan sendiri pembajakan tersebut. Gerakan penyerbuan akan di lakukan jam 03.00 pagi. Pada saat itu jam 02.00 pagi, status pasukan sudah siap. Perlengkapan, seragam serta baret merah di kepala sudah sepenuhnya siap.
Ketika mendekati waktu penyerbuan, pasukan mulai bergerak mendekati pesawat. Jendela-jendela pesawat saat itu telah ditutup. Tim Biru dan Tim Merah mengarah ke kedua sayap pesawat sementara Tim Hijau akan masuk lewat pintu belakang.
Jarum jam menunjukan pukul 02.45 dan penyerbuan akan dimulai. Dengan gerakan cepat pasukan elite TNI AD itu masuk menerobos kedalam kabin dan dengan segera melumpuhkan empat dari lima pembajak itu. Sementara itu, Imran bin Muhammad Zein yang juga merupakan pimpinan dari pembajakan itu selamat dari peluru pasukan dan tertangkap oleh pasukan Kopassus.
Operasi Woyla itu juga memakan korban dari pihak militer. Salah seorang anggota Kopassus Pembantu Letnan Achmad Kirang dan Kapten Pilot Herman Rante mengalami luka karena tembakan dari pembajak tersebut. Sempat di larikan ke rumah sakit namun pada akhirnya tak terselamatkan dan meninggal di rumah sakit.
Apresiasi dari pemerintah terhadap operasi pelumpuhan pembajak pesawat Woyla yang dibawah pimpinan sangatlah besar. Letnan Kolonel Infanteri Sintong Panjaitan bersama pasukannya dianugerahi Bintang Sakti serta dinaikkan pangkatnya satu tingkat. Terdapat juga apresiasi terhadap pasukan yang gugur di dalam Operasi Woyla tersebut Achmad Kirang, yang dinaikkan pangkatnya dua tingkat secara anumerta.