Tentara yang sedang bertugas ke medan perang tentunya membutuhkan energi untuk bertahan. Apalagi, untuk kondisi darurat yang tidak sama seperti kehidupan sehari-hari. Demi menjaga kebutuhan gizi, para tentara membutuhkan asupan khusus yaitu ransum tentara yang mengandung semua kebutuhan nutrisi. Tapi, makanan dan minumannya jelas lebih praktis dalam hal ukuran dan penyajiannya.
Jika Anda pernah melihat tampilan luar ransum TNI, mungkin kemasan luarnya tidak begitu menarik dibandingkan makanan minuman produksi pabrik. Tapi, ransum untuk tentara memiliki banyak macam, yaitu makanan berat berupa nasi kemasan, enerkit (energi biskuit), enertab (energi tablet), minuman energi, minkal, viteral, dan enersup.
Kadungannya sudah memenuhi kebutuhan fisik tentara, bebas MSG, dan berstatus halal. Seharusnya tidak ada yang memperjualbelikan ransum TNI secara bebas karena hal itu illegal atau melanggar hukum.
Lalu seperti apa bentuk ransum tentara pada zaman dahulu? Pada saat Indonesia masih berada dalam kekuasaan Belanda, kebutuhan bekal untuk para tentara dibuat oleh Dokter Sardjito. Perjuangannya saat itu tentu tidak mudah, karena suplai ransum sebelumnya dilakukan oleh Belanda.
Sempat ada kekhawatiran jika ransum buatan Dokter Sardjito memiliki bahan yang sama, maka tentara Belanda melakukan penyitaan. Itulah mengapa, ransum buatan Dokter Sadjito diberi nama ‘Biskuit Sardjito’ yang bentuknya cenderung mirip makanan tradisional. Lalu seperti apa perjuangan Dokter Sardjito, sosok dokter militer yang juga pernah menjabat sebagai rektor?
Baca juga:
- Ransum TNI : Mengenal Asupan Gizi di Medan Tempur
- Sejarah Pasukan Siliwangi: Perlawanan Agresi Militer Belanda
- Peraturan dan Kode Etik Profesi TNI yang Wajib Dipatuhi
Dokter Sardjito Berjasa dalam Bidang Kesehatan, Pendidikan, sampai Militer Indonesia
Bagi masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya, nama Dr Sardjito tentu tidak asing lagi karena menjadi nama salah sebuah rumah sakit, yaitu RSUP Dr. Sardjito. Perjuangannya berlangsung selama masa pendudukan Hindia Belanda sampai era revolusi kemerdekaan Indonesia.
Dr Sardjito memiliki jasa yang besar dalam bidang kesehatan, pendidikan, sampai ke kemiliteran. Beliau juga merupakan Rektor UGM (Universitas Gadjah Mada) yang pertama yang menjabat tahun 1949-1961.
Sebelum mengulas lebih detail tentang kiprahnya untuk menyediakan ransum tentara, ketahui juga latar belakangnya. Pria kelahiran Magetan, 13 Agustus 1889 ini mulai mendapatkan pendidikan dari orang tua yang mengajari banyak hal, mulai dari baca, tulis, berhitung, sampai membaca kitab suci Al Quran.
Sempat Bekerja sebagai Peneliti pada Lembaga Penelitian Obat dan Vaksin
Sardjito kecil dan remaja sudah terlihat cerdas dan bersemangat belajar, kemudian pendidikannya berlanjut ke sekolah Belanda untuk sekolah menengah.
Begitu lulus dari sekolah menengah, Sardjito menerima beasiswa dari STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Jawa. Saat itulah beliau bertemu dengan tokoh-tokoh pergerakan yang memberi inspirasi untuk berkontribusi lebih besar untuk negeri.
Setelah lulus dari STOVIA dan mulai menjadi dokter, dua tahun kemudian beliau memiliki minat baru untuk meneliti obat-obatan dan penyakit. Momen tersebut mengantarnya untuk membuat langkah baru untuk bekerja menjadi peneliti di Institute Pasteur, sebuah lembaga penelitian obat dan vaksin milik Belanda.
Sebelum Membuat Ransum Tentara, Banyak Melakukan Penelitian Kesehatan
Awalnya penempatan kerjanya adalah laboratorium Batavia, tapi kemudian pindah ke laboratorium pusat Bandung. Karena prestasinya yang istimewa, kemudian Dokter Sardjito kembali belajar dengan beasiswa ke Leiden, Belanda dan Baltimore, Amerika Serikat.
Begitu pendidikan dengan gelar Master of Public Health selesai, Dokter Sardjito pun kembali ke tanah air dan menjadi kepala laboratorium di Makassar. Penelitiannya tentang penyakit lepra membawanya ke Jerman untuk melakukan penelitian untuk beberapa waktu.
Begitu kembali dari Jerman, jabatannya adalah kepala laboratorium dengan lokasi Semarang. Jabatannya berlangsung sampai hari kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Selama bekerja di laboratorium Semarang itulah, Dokter Sardjito meneliti penyakit yang sering menyerang masyarakat. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, beliau pernah bekerja dengan komando militer Jepang demi kepentingan penelitian kesehatan.
Sempat Berpindah Tugas dari Bandung ke Klaten
Sesudah proklamasi, Institute Pasteur menjadi milik pemerintah Indonesia dengan semua asetnya berada dalam naungan Kementerian Kesehatan. Saat itulah Dokter Sardjito mendapat amanah menjadi kepala Institute Pasteur yang juga bertanggung jawab untuk mengirim bantuan medis untuk sipil dan militer wilayah Bandung.
Saat kondisi Bandung tidak aman, Dokter Sardjito bersama staf berpindah ke Klaten. Tempat kerja untuk Institute Pasteur adalah laboratorium yang sebelumnya untuk percobaan tembakau. Bukan hanya bertugas untuk urusan laboratorium penelitian obat dan vaksin, pengelolaan rumah sakit Tegalyoso Klaten juga menjadi tanggung jawab Dokter Sardjito. Di tempat itulah, korban perang (sipil dan militer) mendapatkan perawatan.
Seperti sebelumnya, Dokter Sardjito menjalankan tugas dan pengabdian dengan cara membuat pos-pos kesehatan pada jalur transportasi dan wilayah yang masih jauh dari fasilitas kesehatan. Bahkan, juga ada pembangunan beberapa rumah sakit darurat yang dikelola oleh dokter militer. Pasiennya mayoritas adalah korban perang yang terkena serangan musuh.
Ransum Tentara ‘Biskuit Sardjito’ untuk Kondisi Darurat
Sampai pada masa Serangan Umum 1 Maret 1949, Dokter Sardjito mulai membuat ransum tentara yang memiliki komposisi seperti ransum tentara Belanda selama ini.
Akan tetapi, kekhawatiran muncul tentang bahan ransum tentara. Bukankah Belanda akan curiga dan menganggap ransum tersebut adalah hasil rampasan, jika bahannya sama? Itulah mengapa, Dokter Sarjito membuat suatu inovasi yang berbeda yang diberi nama ‘Biskuit Sardjito’.
Bentuk ransum biskuit tersebut bulat mirip bakpia yang bisa memberi energi untuk aktivitas medan perang seharian. Masing-masing tentara mendapatkan biskuit yang dapat mencukupi kebutuhan saat gerilya. Sebenarnya, ransum tentara yang berupa biskuit ini adalah untuk keadaan darurat. Tapi, untuk kebutuhan harian tentara juga mendapat jatah dari dapur umum warga desa persinggahan.
Ada banyak upaya untuk memenuhi kebutuhan tentara militer maupun masyarakat sipil saat itu. Institute Pasteur juga menyediakan vaksin darurat dari penelitian Dokter Sardjito sebelumnya yang pembuatannya adalah dari media kulit kerbau.
Sebagaimana halnya pembuatan ransum tentara yang tidak mudah, begitu juga dengan pembuatan vaksin untuk para tentara. Beberapa hal yang menantang adalah blokade dari Belanda serta kesulitan tentang bahan-bahan. Berbagai inovasi bahan-bahan vaksin pun akhirnya berhasil dilakukan untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Karena kegigihan Dokter Sardjito dan staf, maka banyak pejuang Indonesia yang selamat.