Militer.ID – Pada tanggal 5 Oktober 1951 yang merupakan hari ulang tahun Tentara Nasional Indonesia ke-6 lahirlah pedoman prajurit yaitu Sapta Marga TNI.
Sapta Marga merupakan kode etik bagi prajurit sebagai bentuk nyata dalam mempersiapkan bersatunya Angkatan perang Republik Indonesia (APRI).
T. B. Simatupang selaku Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (Periode 1950-1953) menjelaskan bahwa perumusan Sapta Marga bermaksud untuk mencegah perpecahan di dalam tubuh Tentara Nasional Indonesia dari tarikan ekstrem kiri dan kanan.
Dan dalam proses perumusan Sapta Marga yang tercatat dalam buku, Sejarah TNI-AD (1945-1973) : Peranan TNI AD Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjelaskan para tokoh perumus Sapta Marga di pimpin oleh Kolonel Bambang Supeno dibantu oleh Sekretaris yaitu Mayor Guritno.
Baca Juga :
- Pertempuran Ambarawa Langkah Awal Jenderal Soedirman
- Awal Mula Terbentuknya Pancasila Sebagai Dasar Negara
Rumusan prajurit ini dirancang secara bersama-sama oleh para pemikir di jajaran TNI serta para tokoh bangsa seperti Supomo, Ki Hajar Dewantara, Husen Djajadiningrat dan Mohammad Yamin.
Para tokoh perumus tersebut dibentuk oleh gabungan dari masing-masing Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia.
Menurut T. B. Simatupang, para tokoh perumus berupaya dengan keras sampai sering mengadakan berbagai pertemuan yang terkadang mendekati kondisi mistik, hingga akhirnya mereka melaporkan hasil perumusan kepada gabungan Kepala Staf APRI.
Dari hasil pekerjaan yang telah dirumuskan, selanjutnya oleh gabungan Kepala Staf kemudian perumusan tersebut pun diperbaiki, disempurnakan maksud serta tujuannya, berikut kalimatnya diperjelas serta dibuat sistematik yang nyata sehingga seluruh perumusan disusun dalam 7 pokok, terang T. B. Simatupang.
Menengai istilah tujuh pokok tersebut, T. B. Simatupang lebih menyukai penamaan yang lebih sederhana yakni pedoman prajurit. Namun, hampir keseluruhan peserta dalam rapat tersebut menolaknya.
Banyak dari peserta rapat yang menginginkan istilah yang lebih terang dan jelas namun menunjukkan sebuah identitas. Dan sebagian besar dari mereka pun memberikan contoh nama Pancasila yang nyatanya memberikan identitas dan memiliki makna yang dalam serta jelas pada suatu Bangsa.
Para hadirin pun menginginkan agar pedoman prajurit tersebut dirumuskan suatu istilah yang dapat memberikan dimensi loyalitas, daya tarik yang besar serta imajinasi.
Dan ketika T. B. Simatupang bertanya kepada mereka tentang usulan nama, mereka pun menjawab Sapta Marga.
Pada awalnya T. B. Simatupang pun agak keheranan dengan istilah Marga yang disebutkan. Karena menurutnya sebagai orang Batak, T. B. Simatupang menyamakan istilah marga sebagai “bagian kekerabatan”, padahal marga yang dimaksudkan oleh para hadirin yakni adalah “pegangan hidup.”
Namun menurutnya, permasalahan nama bagi sebuah pedoman atau kode etik prajurit rasanya tidak dapat dihadapi secara rasional saja, maka oleh sebab itu T. B. Simatupang pun pada akhirnya menyetujui saran agar pedoman prajurit pun diberikan nama Sapta Marga.