Pejuang yang berperan ketika perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949) ternyata bukan hanya berasal dari penduduk pribumi Indonesia saja, namun juga ada pejuang asing yang turut serta membantu. Para pejuang datang dari berbagai latar belakang bangsa dan negara bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia karena memiliki kepedulian hati nurani.
Pada mulanya pejuang asing sebagian besar bergabung ke dalam pasukan musuh. Namun, karena adanya bisikan empati dari hati nurani, mereka menjadi ragu atas apa yang sedang mereka jalani, yaitu melawan bangsa yang ingin bebas dan merdeka. Saat rasa berdosa yang kian kuat, membuat mereka justru menjadi pembelot dan akhirnya bergabung dengan organisasi pembebasan tanah air Indonesia.
Baca juga:
- Mengenal Taktik Perang Teuku Umar Melawan Belanda
- Cut Nyak Dien, Pemimpin Rakyat Aceh Perang Melawan Belanda
- Sejarah Pasukan Siliwangi: Perlawanan Agresi Militer Belanda
Inilah Para Pejuang Asing yang Pernah Berjuang untuk Indonesia
Sejarah mencatat alasan mereka melakukan pembelotan dari perintah negaranya sendiri adalah karena hak asasi manusia.
Siapa saja pejuang asing yang membantu Indonesia itu? Berikut pejuang asing dari Jepang, Belanda, India, Jerman, Korea dan Inggris yang akhirnya menjadi gerilyawan untuk bangsa Indonesia.
1. Shigeru Ono, Pejuang Asing dari Jepang
Shigeru Ono merupakan pejuang bangsa Indonesia yang berasal dari Jepang, dan masih ada sampai beberapa tahun lalu. Lebih tepatnya pada 25 Agustus 2014, dia meninggal akibat sakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah.
Sewaktu masih berjuang dalam peperangan, dia selain ikut bergerilya ke wilayah kaki Gunung Semeru, Jawa Timur, dia juga pernah terlibat dalam pembuatan buku petunjuk khusus taktik perang gerilya bersama dengan “Bapak Intel Indonesia”, yaitu almarhum Kolonel Zulkifli Lubis.
Alasan Shigeru tidak mau tunduk kepada pihak Sekutu adalah karena melihat jasa orang-orang Indonesia kepadanya manakala memerangi pihak Sekutu dan dia tidak mengenal kata menyerah.
Dalam sebuah karya Eiichi Hayashi berjudul Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik, Shigeru Ono berkata bahwa Indonesia sudah banyak membantu Jepang dan ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan oleh negaranya.
Shigeru Ono harus rela kehilangan tangan kanannya akibat dari ledakan mortir demi bisa membela tanah air barunya. Dia juga menjadi buronan militer Belanda karena anggapan bahwa dia telah membuat kerugian dengan aksi penyerangan yang dilakukan pasukannya selama di wilayah Jawa Timur.
2. J.C. Princen
Johannes Cornelis Princen sudah sedari awal merasa tak suka dengan pengiriman tentara Belanda ke Indonesia. Dia ternyata seorang kopral wajib militer dari Divisi 7 Desember.
Princen mengunkapkan bahwa rasanya ironis saja saat negaranya baru saja bebas dari Jerman setelah itu menjadi penjajah bagi bangsa lain yang ingin merdeka.
Dia akhirnya tetap untuk ikut dalam rombongan tentara yang akan berangkat ke yang jawa karena negaranya mengancam dia dengan hukuman mati.
Awal tahun 1947, Princen sampai di Pelabuhan Tanjung Priok dan bertugas di daerah Jakarta, Bogor dan Purwakarta. Nah, di Bogor dan Jakarta inilah dia merasa tidak nyaman atas perilaku para serdadu yang melakukan penindasan.
Princen mengenang bahwa para serdadu itu memperlakukan orang-orang pribumi layaknya anjing kudisan. Bahkan di Bogor serdadu itu menembak Asmuna, seorang perempuan setempat yang menolak untuk dilecehkan oleh para serdadu.
Sekitar tahun 1948, Princen melarikan diri dari kesatuannya dan ditangkap oleh Tentara Merah (pasukan pro FDR PKI) dan dipenjaran di Pati. Setelah sebulan berlalu, Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi membebaskannya dan menyuruh kembali kepada pasukannya. Akan tetapi, Princen tidak ingin kembali dan lebih memilih ikut Siliwangi long match ke Jawa Barat.
Princen kemudian tercatat aktif sebagai gerilyawan Republik pada 21 November 1925 untuk wilayah Cianjur-Sukabumi pada tahun 1949. Akibatnya, dia oleh pihak militer Belanda terus diburu dan berusaha untuk dihilangkan nyawanya seperti tercatat dalam otobiografinya yang berjudul Kemerdekaan Memilih.
3. Abdullah Sattar
Menurut jurnalis sejarah Muhammad TWH, Sattar melakukan pembelotan dari BIA (British India Army) dengan membawa banyak anak buah dan persenjataan lengkap. Sattar merupakan lelaki asal India yang bergabung dengan kekuatan pasukan Republik Medan dan dibuatkan kompi tersendiri dalam Batalyon I oleh para petinggi tentara.
Selain menjadi komandan kompi, Sattar juga menjadi komandan Batalyon I Resimen III Divisi X dengan pangkat mayor. Sattar pernah mengirimkan 17 anggotanya ke palagan Aceh sebagai tenaga bantuan latih dan petempur.
Ketika Muhammad Hatta melalukan kunjungan ke Sumatera awal tahun 1948, pasukan Sattar bertugas untuk mengawal Wakil Presiden RI yang pertama itu saat berkunjung ke Pematang Sattar. Nah, setelah Hatta selesai berkunjung, pihak militer Belanda datang menyerang. Terjadilah pertempuran hingga para prajurit kehabisan amunisi. Namun hal itu tidak membuat mereka menyerah, bahkan mereka beradu satu lawan satu melawan prajurit Belanda dan akhirnya banyak sebagian prajurit Sattar tewas.
Mayor Sattar selamat dari peristiwa itu dan pada 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan, Sattar berhenti menjadi tentara dan berwiraswasta. Namun, usahanya gagal dan menurut TWH, Sattar terakhir menjadi pentinju profesional dan oleh orang Medan dikenal sebagai Young Sattar.
4. Warner dan Losche
Pejuang asing berikutnya adalah Warner dan Losche, yaitu anggota Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) yang pada tahun 1945 ditawan oleh tentara Inggris di Jakarta kemudian dibuang ke Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Selanjutnya, militer Belanda menangani mereka sebelum diberangkatkan ke Eropa. Para tawanan yang ada di Onrust banyak diperlakukan sangat buruh oleh pihak Belanda.
Menurut Zahorka, sejarawan Jerman, Werner dan Losche yang merupakan eks awak Kapal Selam U-219, berhasil lolos dari penampungan Onrust dan mereka sampai di Jakarta lalu bergabung dengan para gerilyawan Indonesia. Oleh Kolonel Zulkifli Lubis, Warner dan Losche ditempatkan di Ambadawa selaku instruktur militer untuk pelatihan intelijen Republik Indonesia.
5. John Edward
John Edward merupakan seorang letnan berkebangsaan Inggris dari Batalyon 6 South Wales Border Brigade 4 pimpinan Brigjen TED Kelly. Dia melakukan pembelotan ke Republik dengan bergabung dengan Batalyon B pada tahun 1948 pimpinan Kapten Nip Xarim.
Selain berperan sebagai pejuang asing, John juga menjadi penyiar bahasa Inggris Radio Rimba Raya di Aceh. Terkadang dia juga menjadi ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husein Yusuf. Pangkatnya naik menjadi kapten pada beberapa waktu kemudian. Selanjutnya oleh pihak gerilyawan Indonesia wilayah Sumatera, dia dikenal sebagai Kapten Abdullah Inggris.
6. Yang Chil Sung
Oleh masyarakat Wanaraja di Garut, Yang Chil Sung dikenal dengan nama Komaruddin. Dia seorang pemuda Korea yang ikut tentara Jepang ke Indonesia dan pada Maret 1946. Sebagai pejuanga asing, Yang Chil Sung bersama pasukannya terlibat dalam pertempuran hebat dengan Pasukan Pangeran Papak (PPP). Akhirnya pasukan Yang Chil Sung tertawan dan dia menyatakan bergabung dengan laskar asal Garut itu.
Yang Chil Sung selama bergabung dengan PPP menjadi inisiator bermacam-macam penyerangan terhadap basis-basis militer Belanda di Garut selama waktu 1946-1948. Aksi darinya yang paling terkenal adalah mampu mengancurkan Jembatan Cinunuk sehingga pihak Belanda gagal menguasai Wanaraja. Hal ini diungkapkan oleh Utsumi Aiko dalam Sekidoka no Chosenjin hanran (Pemberontakan Orang Korea di Bawah Garis Khatulistiwa).
Itulah biografi singkat para pejuang asing yang berjuang untuk Indonesia. Semoga kita dapat mengambil hikmah dan menghormati para pejuang yang sudah berjasa untuk tanah air.