Militer.ID – Tentara Siliwangi yang melakukan hijrah dari Jawa Barat yang sebagian menggunakan kereta api, ternyata di kereta itu juga terdapat para perusuh yang telah melakukan provokasi dengan menembak tiang-tiang telepon dan juga telegram saat kereta api berjalan.
Ini disebabkan kekecewaan prajurit Siliwangi karena mereka dipaksa untuk meninggalkan kampung halaman mereka, atau terpaksa hijrah.
Dan untuk mengatasi kondisi tersebut, tindakan kekerasan dirasa bukan sebuah solusi yang cukup bijak dan hanya menambah amarah mereka. Dibutuhkan suatu cara untuk meredam amarah para prajurit Siliwangi itu.
Pada Perdana Menteri Moh. Hatta dan juga Panglima Besar Jenderal Soedirman, mereka berdua diminta kesediaannya untuk menyambut rombongan tentara Siliwangi dan juga KRIS yang tiba di Stasiun Tugu, Yogyakarta pada tanggal 12 Februari 1948.
Pasukan dari Korps musik pun disiapkan, demikian juga jajaran gadis-gadis yang berdiri disepanjang peron dengan menyediakan aneka jajanan dan kue untuk menyambut tentara Siliwangi dan KRIS.
Saat kereta api masuk stasiun, tampak masih ada prajurit yang menembakkan senjatanya dari dalam kereta ke atas stasiun. Dan pada saat itu pula, diperintahkan agar korps musik segera memanikan lagu penyambutan.
Tampak dari balik jendela kereta api, raut wajah yang keheranan melihat Perdana Menteri Moh. Hatta dan Panglima Besar Jenderal Soedirman serta sejumlah petinggi sipil dan militer yang berdiri di peron stasiun Tugu.
Salah satu diantaranya adalah dr. Wiliater yang berada pada baris pertama yang menyambut kedatangan prajurit-prajurit Siliwangi itu. Seorang perwira turun dan bertanya “Siapa tamu-tamu agung yang disambut oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Bung Hatta?”
dr. Wiliater pun menjawab, “Saudara-saudara lah yang kami semua sambut!” Dan berita ini dengan cepat tersebar keseluruh rombongan kereta. Wajah yang semula terisi amarah, dengan cepat berubah menjadi ceria. Dan tak sedikit yang meneteskan air mata karena terharu akan sambutan yang diluar dugaan mereka semua.
Sumber : Adopsi dari Buku Autobiografi Wiliater Hutagalung