Militer.ID – Keumalahayati atau lebih dikenal Malahayati adalah seorang wanita Aceh yang sangat dikenal dunia. Akan tetapi di Indonesia namanya tak seterkenal Cut Nyak Dien atau Cut Meutia. Walaupun Malahayati sebenarnya adalah wanita pertama yang membuktikan emansipasi wanita dengan menjadi seorang Laksamana Angkatan Laut wanita pertama di zaman pelayaran modern, namun dirinya tak sepopuler ibu Kartini yang sampai memiliki hari peringatan disetiap tanggal 21 April.
Malahayati hidup pada masa kerajaan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV, yang memerintah sekitar tahun 1589-1604M. Ia lahir dari keluarga bangsawan, ayah dan kakeknya pernah menjadi seorang Laksamana Angkatan Laut. Walaupun Malahayati seorang wanita, dirinya berkeinginan untuk menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya.
Pilihan Editor :
- Pertempuran Ambarawa Langkah Awal Jenderal Soedirman
- Mengenal Pesawat Cukiu Sejarah Alutsista TNI Angkatan Udara
Untuk mewujudkan cita-citanya, Malahayati mendaftarkan diri pada penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis. Atas kecerdasan yang dimiliki oleh Malahayati, anak dari Laksamana Muhammad Said Syah ini diterima sebagai siswa taruna akademi militer Baitul Maqdis. Malahayati menjadi seorang taruna wanita yang memiliki prestasi gemilang. Dengan prestasinya tersebut ia dapat memilih jurusan yang diinginkan. Karena Malahayati ingin menjadi seorang pelaut, sehingga ia memilih jurusan Angkatan Laut.
Setelah lulus dari pendidikan Akademi Militer Mahad Baitul Maqdis, Keumala akhirnya menikah dengan seorang perwira laut yang lebih senior dari dirinya.
Suaminya gugur lebih dulu pada saat melawan Portugis di Palagan Selat Malaka. Namun sayangnya Kisah suami Malahayati tak terlalu terungkap pada beberapa manuskrip.
Setelah suaminya gugur, Malahayati ingin membentuk armada perang, yang prajuritnya terdiri dari para janda, yang suaminya adalah pejuang Aceh yang telah gugur pada pertempuran di Selat Malaka.
Setelah mengajukan permohonan kepada raja Aceh, Sultan Al-Mukammil, keinginan Keumalahayati untuk membentuk armada perang dapat diwujudkan dan Malahayati diangkat menjadi seorang panglima Armada Inong Balee (Armada Perempuan Janda).
Pertempuran yang pertama kali dipimpin oleh Keumalahayati adalah pertempuran melawan Portugis di perairan Selat Malaka.
Pasukan Inong Balee yang bermarkas di Teluk Lamreh Krueng Raya memiliki seratus lebih kapal perang , dengan pasukan yang encapai hingga 2000 pasukan. Dengan pasukan yang banyak itu, membuat armada asing menjadi gentar untuk melintasi Selat Malaka.
Aceh memiliki komoditas ekonomi yang dihasilkan oleh bumi dan laut Aceh sangat melimpah ruah, hal tersebut menjadikan Aceh digemari oleh bangsa barat seperti Belanda, Portugis, dan Inggris. Aceh membuka kesempatan untuk bekerjasama dengan mereka. Akan tetapi bangsa barat tak mengindahkan kerjasama tersebut. Mereka sangat rakus dan ingin menguasai komoditas yang bukan menjadi hak mereka, dengan mengupayakan berbagai cara, mulai dari trik yang halus, seperti membuat perjanjian dagang, hingga cara kasar sampai dengan menyerang Aceh.
Pada tanggal 21 Juni 1599, dua bersaudara Cornelis De Houtman dan Frederick De Houtman menjadi saudagar Belanda pertama yang tiba di Indonesia, tepatnya di Aceh. Dengan menggunakan kapal De Leeuw dan De Leeuwin. Keduanya mendapat sambutan baik dari Sultan di Istana. Mereka berdua berhasil memikat Sultan, sehingga Sultan memberi izin untuk melakukan perdagangan dengan Aceh dan membuka kantor dagang di Aceh.
Dengan kerjasama tersebut, Aceh memanfaatkan untuk menyewa kapal Belanda yang akan digunakan ke Johor untuk mengangkut pasukan. Akan tetapi pada saat kapal tersebut ingin digunakan, pihak Belanda mengingkari janjinya tersebut dan kapten kapal J. Van Hamskerek melarang pasukan Aceh untuk naik ke atas kapal. Ketika Belanda terlihat menembaki beberapa pembesar Aceh, hal itu membuat sebagian pasukan Aceh yang telah berada di atas kapal marah.
Pertempuran tersebut dilaporkan kepada Sultan dan didengar oleh Keumalahayati. Pada saat itu juga Malahayati memberikan komando agar pasukannya berkumpul dan mengepung kantor perwakilan dagang Belanda.
Dalam waktu singkat, pasukan Belanda menyerah dan sebagian besar pasukan Belanda tewas di tangan anak buah Keumalahayati.
Pada pertempuran itu, Malahayati berhasil menewaskan Cornelis De Houtman dan beberapa anak buahnya. Dan saudaranya, Frederick De Houtman berhasil ditawan selama dua tahun dan kemudian dijebloskan ketahanan kerajaan Aceh.
Setelah pertempuran tersebut, Belanda tak juga kapok dan mengirimkan pasukannya ke Malaka, yang dikomandoi oleh Paulus Van Caerden. Belanda berulah lagi, dengan menjarah dan menenggelamkan kapal-kapal yang penuh dengan rempah-rempah di pantai Aceh. Pada bulan Juni 1601, Malahayati berhasil menangkap Laksamana Belanda, Jacob Van Neck yang sedang berlayar di pantai Aceh.
Perjuangan Keumalahayati, sampai ke telinga penguasa Inggris, Ratu Elizabeth I. Utusan Inggris pun datang ke Aceh dan disambut baik oleh Sultan. Pada saat itu Inggris sedang bermusuhan dengan Portugis.
Pada bulan Juni 1606, Keumalahayati memimpin pasukan Aceh pada saat menghadapi Armada Portugis yang menyerbu Kreung Raya Aceh.
Dengan keberaniannya sebagai seorang wanita, Keumalahayati diakui kehebatannya dalam memimpin angkatan perang oleh negara Eropa, Arab, Cina, dan India.
Namanya juga melekat pada kapal perang TNI Angakatan Laut, KRI Malahayati.