Negara ‘zonder’ Tentara Tanpa Oerip Soemohardjo

Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo(1)

Militer.ID – Tahukah kamu siapa pencetus istilah, ‘’Negara zonder tentara’’? Ia adalah seorang Letnan Jenderal yang bersahaja dalam sejarah cikal bakal terbentuknya garda terdepan militer Indonesia, TNI. Nama Oerip (baca: Urip) Soemohardjo memang tidak setenar Soedirman. Namun tahukah kamu? di dunia kemiliteran kiprahnya janganlah sekali-kali diragukan. Siapa sangka, Jenderal Soedirman adalah salah satu juniornya. Bicara mengenai pengalaman Pak Oerip vs Pak Dirman, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo itu jauh lebih banyak makan asam-garam di dunia kemiliteran Indonesia.

SIDIK DAN URIP

Si anak nakal dari Purworejo ini bernama asli Muhammad Sidik. Rumahnya di desa Sindurejan, Purworejo adalah saksi bisu lahirnya tokoh besar Indonesia itu, Ia lahir dari pasangan Soemohardjo, seorang mantri guru HIS. Ibunya adalah seorang putri Tumenggung Wijoyokusumo, Bupati Trenggalek. Oerip kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mampu dan cukup terpandang. Sidik yang dalam bahasa arab berarti jujur ini menjadi harapan bagi sang Kakek, Tumenggung Wijoyokusumo untuk mengikuti jejaknya tumbuh sebagai pejabat ataupun alim ulama. Nasib berkata lain, jiwa pemimpinnya sudah tampak ketika dirinya masih anak-anak.

Sidik menjadi pemimpin dari gerombolan anak-anak di Sindurejan. Ia akan berdiri di barisan paling depan untuk melindungi mereka, kalau diganggu oleh gerombolan anak-anak lainnya. Sidik anak ningrat itu sangat nakal dan berani hal ini membuat sang Kakek pusing tujuh keliling. Pernah suatu hari ia bermain dan terjatuh dari pohon kemiri yang tinggi hingga membuatnya tidak sadarkan diri.

Sang Kakek Tumenggung Wijayakusuma, sangat khawatir, ia menyuruh orangtua Sidik, supaya nama anak itu diganti dengan Oerip -yang dalam bahasa jawa berarti hidup- dengan harapan akan hidup terus. Awalnya orangtuanya tidak menyetujui, namun karena ini adalah amanah dari sesepuh maka jadilah Sidik si Jujur berganti menjadi Oerip -Hidup. Menurut kepercayaan sebagian orang zaman tersebut, bila seorang anak sangat nakal atau sakit-sakitan, maka nama anak harus diganti dengan nama lain.

Baca Juga :

KARIR KEMILITERAN

Di Magelang, Oerip berkenalan dengan salah seorang anggota militer Belanda. Oerip mulai merasa bahwa kehidupan militerlah yang sesuai dengan jiwanya. Oerip sang pemberontak, secara diam-diam mendaftarkan diri ke sekolah perwira (Inlandsche Oficier) di Jatinegara. Di sekolah perwira di Jatinegara, Oerip berlatih menjadi seorang infantri. Empat tahun kemudian ia sudah dilantik sebagai perwira KNIL (Koninklijk Nederlands Indische Leger = Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dengan pangkat Letnan Dua.

Karir militernya dimulai saat ia ditempatkan di Garnizun Jatinegara. Kemudian tahun-tahun setelahnya dipindahkan ke Kalimantan, Cimahi hingga kembali ke Purworejo, kota kelahirannya. Ia pun menikah dengan seorang wanita yang bernama Rohmah, temannya ketika belajar di OSVIA namun pernikahan mereka tidak dikaruniai momongan. Statusnya sebagai seorang perwira di KNIL sama sekali tidak menyebabkan Oerip menjadi buta terhadap nasib dan masa depan bangsanya. Sebisa mungkin dirinya pun berusaha untuk mencegah penghinaan yang dilakukan oleh orang-orang Belanda terhadap rakyat Indonesia.

Hingga pada akhirnya mayor KNIL yang telah 24 tahun menjalani masa dinas itu menerima pensiun dan Ia hidup sebagai penduduk biasa. Di desa Gentan dekat Kaliurang Yogyakarta, ia membeli sebidang tanah dan mengisi waktu lowongnya sebagai seorang petani. Betapa bersahajanya Ia, menanggalkan pakaian keningratan Tumenggung Wijoyokusumo dengan hidup sebagai prajurit.

Namun ternyata karirnya belum berakhir, perang dunia II mengelitik naluri kemiliterannya. Dalam bulan Mei 1940 Negeri Belanda diduduki Jerman. Pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi untuk menghadapi kemungkinan terjadinya perang di wilayah itu. Oerip mendaftarkan diri bukan karena ia menyenangi pemerintah Belanda, tetapi karena antipatinya terhadap fasisme. Kedatangannya di Bandung diterima dengan senang hati oleh teman-teman lamanya. Tanggal 8 Desember 1941 Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor. Tanggal 8 Maret 1942 Panglima Tentara Belanda di Indonesia menyerah tanpa syarat. Tentara Belanda menjadi tawanan Jepang Oerip termasuk di dalamnya. dan dimasukan ke kamp tawanan di Cimahi.

Bulan Juni 1942 Oerip dibebaskan lalu pulang ke desa Gentan namun gerak-geriknya tidak luput dari pengamatan kaki tangan Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Amerika Serikat. Sebelumnya, dalam bulan Mei 1945, Jerman menyerah pula di Eropa. Dengan demikian berakhirlah Perang Dunia II. Peristiwa itu beruntut pada kemerdekaan Indonesia ditanggal 17 Agustus 1945. Tetapi bekas pensiunan KNIL yang sudah berumur 52 tahun itu tak habis pikir mengapa pemerintah tidak segera membentuk angkatan perang, justru pada saat negara muda yang baru merdeka itu rentan menghadapi ancaman militer dari luar.

Pemerintah hanya membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) untuk negara sebesar nusantara. Ia kemudian memprotes dengan ucapan : “Aneh! negara zonder tentara!” -zonder dalam bahasa Belanda berarti tanpa-
Sebagai rasa tanggap pemerintah pada tanggal 5 Oktober 1945 mengumumkan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang merupakan cikal bakal TNI. Pada tanggal 18 Desember 1945 Soedirman dan Oerip dilantik sebagai Panglima Besar dan Kepala Staf Umum, masing-masing dengan pangkat Jenderal dan Letnan Jenderal. Setelah kemerdekaan Indonesia, kekuatan cikal bakal TNI ini memang sepenuhnya di bentuk oleh kedua perwira mantan anggota PETA dan KNIL.

Dalam usahanya membina Angkatan perang, Oerip seringkali harus berhadapan dengan intrik politik. Perjanjian Linggajati yang ditandatangani dalam bulan Maret 1947 dipandangnya tidak lebih dari pembela jalan bagi Belanda untuk melancarkan agresi militernya.

Letnan Jenderal Oerip sangat marah, ia menentang kebijakaan yang dijalankan pemerintah. Ia tidak sepakat dengan kebijakan pemerintah republik yang menempuh jalur diplomasi dengan Belanda. Hingga pada akhirnya Letjen Oerip pun dengan tekad kerasnya lebih memilih tetap bertempur secara gerilya dan berjuang untuk menentang Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948 yang disebutnya sangat merugikan Bangsa Indonesia.

Oerip pun juga menuduh bahwa pemerintah mengkhianati angkatan perangnya sendiri. Itulah yang menjadi pertimbangan Oerip untuk mundur dari hal yang paling di cintainya yaitu TNI, juga sejumlah alasan lain. Dirinya pun tak habis pikir dengan intrik politik yang terjadi di pemerintahan saat itu. Samppai pada akhirnya Ia akhirnya wafat pada 17 November 1948 di Yogyakarta karena serangan jantung.

Exit mobile version