Militer.ID – Dunia dirgantara Indonesia pernah berduka dengan hilangnya sosok Laksamana Muda Udara (Anumerta) Nurtanio Pringgoadisuryo, yang merupakan seorang perintis industri dirgantara Indonesia.
Dirinya meninggal pada tanggal 21 Maret 1966, ketika sedang memiloti pesawat Arev (Api Revolusi). Pada saat itu mesin pesawat yang dikemudikan oleh Nurtanio mengalami kerusakan yang akhirnya menabrak sebuah toko pada saat harus mendarat darurat di lapangan Tegallega, Bandung.
Nurtanio membuat pesawat pertamanya bersama dengan Wiweko Soepono pada tahun 1947. Pesawatnya diberi nama Sikumbang dengan kode Nu-200, yang merupakan pesawat pertama all metal dan fighter Indonesia.
Nurtanio juga berhasil membuat beberapa glider yang diberi nama NWG-1 (Nurtanio Wiweko Glider). Kemudian pada tahun 1948 Nurtanio dan rekannya ditugaskan untuk melanjutkan studi kedirgantaraannya di FEATI (Far Eastern Air Transport Incorporated) Manila, Filipina.
Baca Juga :
- Maimun Saleh Pilot Pesawat Tempur Pertama Asal Aceh
- Mengenal Pesawat Latih Cukiu Sejarah Alutsista TNI Angkatan Udara
Nurtanio tergabung dalam Angkatan Udara yang dipimpin oleh Suryadi Suryadarma di Yogyakarta (dahulu disebut dengan TKR Jawatan Penerbangan), pada awal kemerdekaan Indonesia. Di sana Nurtanio diberi kepercayaan untuk menjabat sebagai Sub Bagian Rencana di bagian Kepala Bagian Rencana dan Penerangan.
Nurtanio juga pernah mendapatkan kredit dari Polandia, sebesar 1,5 juta Dollar Amerika Serikat. Yang digunakan untuk penyelidikan, percobaan serta pembuatan AURI menjadi LAPIP (Lembaga Persiapan Industri Penerbangan) yang merupakan cikal bakal IPTN (sekarang menjadi PT. Dirgantara Indonesia). Dalam pengajuan proposalnya, Jendral Nasution dan Jendral Hidayat yang merupakan Menteri Keamanan Nasional pada saat itu, sangat terkesan dengan Nurtanio yang begitu realistis dan tidak muluk-muluk.
Ia juga pernah membuat para pejabat Polandia sangat berkesan, pada saat dirinya memimpin delegasi untuk menerbangkan sendiri pesawat Wilga.
Tak hanya di LAPIP, sebagai pekerja keras Nurtanio dkk beserta penerbang AURI juga aktif dalam memantau kesiapan teknis armada udara yang dimiliki oleh AURI pada saat itu.
AURI menjalani kerjasama dengan Institut Teknologi Bandung dan Pindad dalam mengembangkan roket di bawah proyek PRIMA (Proyek Pengembangan Ilmiah dan Militer Awal) pada tahun 1964.
Hasilnya adalah dengan terciptanya Roket Ilmiah Kartika I, yang menjadi roket sounding kedua di negara Asia-Afrika, setelah Jepang. Pada saat itu PRIMA sedang dipimpin oleh Budiardjo dan R.J. Salatun.
Kemudian didirikan KOPELAPIP sekitar pertengahan tahun 1965, dengan tujuan untuk membuat pesawat Fokker F-27. KOPELAPIP termasuk industri penerbangan pemula di Indonesia yang jika diperhatikan sangat terlalu maju, meski sebagai industri penerbangan pemula, pesawat F-27 bisa dibilang sebagai pesawat yang handal. Teknik pembuatannya tidak memakai paku keling, akan tetapi dengan melekatkan lempengan-lempengan alumunium (metal bonding).
Nurtanio dikenal sebagai seorang yang pekerja keras, sopan, rendah hati, serta dapat bekerja dengan serba apa adanya dengan biaya rendah. Pada saat menciptakan pesawat, Nurtanio selalu memanfaatkan komponen dan suku cadang yang ditemukan diberbagai gudang yang tak terpakai. Gaya pendekatannya serba rasional, sesuai dengan keadaan Indonesia sejak awal kemerdekaan yang dianggap praktis.
Nurtanio memiliki banyak pengalaman, baik sebagai penerbang dan juga sebagai pejabat yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan seluruh armada AURI selama tahun-tahun sulit.
Nurtanio lebih memilih untuk berkonsentrasi pada bagaimana mencapai sasaran yang sedang dihadapinya. Dia juga memiliki cita-cita dapat berkeliling dunia dengan pesawat terbang buatan bangsanya. Namun sayangnya, hingga tutup usia cita-citanya belum tercapai.
Setelah meninggal, LAPIP namanya pernah diubah menjadi LIPNur (Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio) untuk mengabadikan nama Nurtanio Pringgoadisuryo sebagai perintis industri penerbangan Indonesia . Namun pada tanggal 11 Oktober 1985, nama Nurtanio lenyap, karena LIPNur diubah menjadi IPTN yang diganti oleh Habibie dan diresmikan oleh Presiden RI kedua, Soeharto.